Dua Pasang Hati
A
A
A
Namun Ijonk terpaksa bungkam, karena takut rahasia pribadi Gavin ini terbongkar. Ia juga sudah berjanji, dia nggak akan bilang pada siapapun, meski disogok pakai duit sama rekan-rekan Magenta.
Dan pagi ini, rutinitas Gavin tertangkap basah oleh Panji, yang datang ke Magenta lebih cepat dari biasanya. Cowok itu segera menarik kaus Gavin dari belakang, saat tahu ia meletakkan segelas Starbucks di meja Lara. “Oh… jadi selama ini lo yang jadi pengagum rahasia Lara?” Gavin sempat terkaget saat tahu Panji sejak tadi di belakangnya. Wajahnya dipasang nyolot, seolah-olah hendak menyebarkan rahasia cowok itu pada anak-anak kantor.
“Kenapa emangnya?” tantang Gavin. Tiba-tiba saja Panji melayangkan tonjokkan ke arah Gavin, ujung bibir cowok itu berdarah karenanya. Gavin nggak mau kalah, ia membalas tonjokkan Panji. “Banci lo, beraninya main belakang! Kalo suka ya ngomong langsung. Sok romantis banget. Dasar brondong gatel!” sergah Panji, setelah ia memungut helm-nya dan kembali ke dalam kantor.
Gavin terdiam, meski dalam hati dia merasa getir. Rahasianya ini sudah diketahui Panji, dan pasti nanti siang berita ini akan naik ke anak-anak kantor. Sebetulnya maksud Gavin, bukanlah sok romantis, tapi dia hanya ingin Lara mencarinya kebenarannya sendiri. Tapi… anehnya, Lara sampe sekarang kayaknya belum tahu kalau Gavin yang meletakkan bunga dan Starbucks di mejanya.
Sesudahnya Gavin berjalan ke kamar mandi, membersihkan luka kecil di bibirnya. Kalo begini caranya… Lara bisa-bisa curiga padanya. Tapi mau gimana lagi, Panji menyerangnya mendadak. Gavin hanya bisa gelenggeleng kepala, pasrah. Begitu Lara dateng, entah kenapa suasana kantor sedikit lebih menegangkan dari biasanya. Diam, sepi, dan sunyi.
Bahkan Gavin yang biasanya senyum ke arahnya lebih dulu, enggan menatap matanya. Lara memberi kode mata pada Silvia agar gadis itu bisa menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. “Sst, Sil. Ada apaan sih, kenapa mukanya pada kayak petugas Imigrasi begitu?” “Ng… anu Mbak Lara… Panji sama Gavin…” Silvia tampak begitu resah saat menceritakan apa yang terjadi.
“Panji sama Gavin kenapa?” tanya Lara semakin tak mengerti. “Berantem dari tadi nggak selesai-selesai. Tadi Dodo sama yang lain coba lerai, baru bisa tenang lima belas menit sebelum Mbak Lara datang.” “Hah? Kok bisa sih mereka berantem, bukannya kemaren udah adem-adem aja?” “Masalahnya sih… Saya nggak tahu apa, pokoknya mereka tadi abis tonjoktonjokan, Mbak,” ujar Silvia jujur.
Lara menghela nafas, “Panggil mereka ke sini. Sekarang.” Nada dingin terucap dari mulutnya. Silvia langsung bangkit berdiri dan menyuruh dua anak itu masuk ke ruangan Lara. Saat masuk, Lara bisa merasakan aura kebencian yang terpancar dari mata Panji dan Gavin. Kedua pria bertubuh tinggi itu pun bahkan enggan saling bertegur sapa. “Kenapa kalian berdua… bisa ribut di kantor?” tanya Lara, memandang keduanya tajam.
“Masalah pribadi, Ra. Bukan apaapa, lo nggak perlu khawatir,” jawab Gavin menutupinya. Lara mengawasi pandangan mata cowok itu yang sejak tadi terlihat getir. “Dan harusnya kalo masalah pribadi, jangan dibawa-bawa di kantor, dong. Panji, kenapa lo tonjok Gavin?” Panji menaikkan kerah bajunya, dan berkata dengan nada nyolot, “Karena gue nggak sudi kerja sama banci.” “Banci? Lo jangan ngomong sembarangan ya, Nji!” teriak Gavin naik pitam.
“STOP! Kalian berdua jangan teriakteriak di ruangan gue. Intinya, gue nggak mau sampe kalian berantem sekali lagi di kantor ini. Ini kantor, bukan arena tinju! Keluar sekarang.” Suara Lara menggema hingga lantai dua di kantor Magenta, semua orang sampai terkejut mendengar betapa marahnya Lara sekarang. Begitu keduanya keluar dari ruangan Lara, seluruh staf bergidik ngeri membayangkan betapa marahnya Lara saat ini.
Tak ada sepatah kata yang berani keluar dari mulut mereka. Siapa sih yang nggak takut, kalo Lara lagi marah-marah begini? Silvia mengatakan, saat dia masih bekerja di Home Living Furniture, Lara pernah memukul meja saking kesalnya dengan satu staf di sana. Katanya sih, yang seperti ini masih lebih mending dari yang sebelumnya.
Akibatnya sepanjang makan siang, suasana terlihat begitu sunyi, satupun tak ada yang berani menatap mata Lara yang siang itu masih bersikap dingin, terlebih lagi pada Gavin yang sesungguhnya ingin makan dengannya, menjelaskan apa yang terjadi. Tapi… Kelihatannya Lara bener-bener marah padanya pagi ini. &&&& (bersambung)
Vania M Bernadette
Dan pagi ini, rutinitas Gavin tertangkap basah oleh Panji, yang datang ke Magenta lebih cepat dari biasanya. Cowok itu segera menarik kaus Gavin dari belakang, saat tahu ia meletakkan segelas Starbucks di meja Lara. “Oh… jadi selama ini lo yang jadi pengagum rahasia Lara?” Gavin sempat terkaget saat tahu Panji sejak tadi di belakangnya. Wajahnya dipasang nyolot, seolah-olah hendak menyebarkan rahasia cowok itu pada anak-anak kantor.
“Kenapa emangnya?” tantang Gavin. Tiba-tiba saja Panji melayangkan tonjokkan ke arah Gavin, ujung bibir cowok itu berdarah karenanya. Gavin nggak mau kalah, ia membalas tonjokkan Panji. “Banci lo, beraninya main belakang! Kalo suka ya ngomong langsung. Sok romantis banget. Dasar brondong gatel!” sergah Panji, setelah ia memungut helm-nya dan kembali ke dalam kantor.
Gavin terdiam, meski dalam hati dia merasa getir. Rahasianya ini sudah diketahui Panji, dan pasti nanti siang berita ini akan naik ke anak-anak kantor. Sebetulnya maksud Gavin, bukanlah sok romantis, tapi dia hanya ingin Lara mencarinya kebenarannya sendiri. Tapi… anehnya, Lara sampe sekarang kayaknya belum tahu kalau Gavin yang meletakkan bunga dan Starbucks di mejanya.
Sesudahnya Gavin berjalan ke kamar mandi, membersihkan luka kecil di bibirnya. Kalo begini caranya… Lara bisa-bisa curiga padanya. Tapi mau gimana lagi, Panji menyerangnya mendadak. Gavin hanya bisa gelenggeleng kepala, pasrah. Begitu Lara dateng, entah kenapa suasana kantor sedikit lebih menegangkan dari biasanya. Diam, sepi, dan sunyi.
Bahkan Gavin yang biasanya senyum ke arahnya lebih dulu, enggan menatap matanya. Lara memberi kode mata pada Silvia agar gadis itu bisa menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. “Sst, Sil. Ada apaan sih, kenapa mukanya pada kayak petugas Imigrasi begitu?” “Ng… anu Mbak Lara… Panji sama Gavin…” Silvia tampak begitu resah saat menceritakan apa yang terjadi.
“Panji sama Gavin kenapa?” tanya Lara semakin tak mengerti. “Berantem dari tadi nggak selesai-selesai. Tadi Dodo sama yang lain coba lerai, baru bisa tenang lima belas menit sebelum Mbak Lara datang.” “Hah? Kok bisa sih mereka berantem, bukannya kemaren udah adem-adem aja?” “Masalahnya sih… Saya nggak tahu apa, pokoknya mereka tadi abis tonjoktonjokan, Mbak,” ujar Silvia jujur.
Lara menghela nafas, “Panggil mereka ke sini. Sekarang.” Nada dingin terucap dari mulutnya. Silvia langsung bangkit berdiri dan menyuruh dua anak itu masuk ke ruangan Lara. Saat masuk, Lara bisa merasakan aura kebencian yang terpancar dari mata Panji dan Gavin. Kedua pria bertubuh tinggi itu pun bahkan enggan saling bertegur sapa. “Kenapa kalian berdua… bisa ribut di kantor?” tanya Lara, memandang keduanya tajam.
“Masalah pribadi, Ra. Bukan apaapa, lo nggak perlu khawatir,” jawab Gavin menutupinya. Lara mengawasi pandangan mata cowok itu yang sejak tadi terlihat getir. “Dan harusnya kalo masalah pribadi, jangan dibawa-bawa di kantor, dong. Panji, kenapa lo tonjok Gavin?” Panji menaikkan kerah bajunya, dan berkata dengan nada nyolot, “Karena gue nggak sudi kerja sama banci.” “Banci? Lo jangan ngomong sembarangan ya, Nji!” teriak Gavin naik pitam.
“STOP! Kalian berdua jangan teriakteriak di ruangan gue. Intinya, gue nggak mau sampe kalian berantem sekali lagi di kantor ini. Ini kantor, bukan arena tinju! Keluar sekarang.” Suara Lara menggema hingga lantai dua di kantor Magenta, semua orang sampai terkejut mendengar betapa marahnya Lara sekarang. Begitu keduanya keluar dari ruangan Lara, seluruh staf bergidik ngeri membayangkan betapa marahnya Lara saat ini.
Tak ada sepatah kata yang berani keluar dari mulut mereka. Siapa sih yang nggak takut, kalo Lara lagi marah-marah begini? Silvia mengatakan, saat dia masih bekerja di Home Living Furniture, Lara pernah memukul meja saking kesalnya dengan satu staf di sana. Katanya sih, yang seperti ini masih lebih mending dari yang sebelumnya.
Akibatnya sepanjang makan siang, suasana terlihat begitu sunyi, satupun tak ada yang berani menatap mata Lara yang siang itu masih bersikap dingin, terlebih lagi pada Gavin yang sesungguhnya ingin makan dengannya, menjelaskan apa yang terjadi. Tapi… Kelihatannya Lara bener-bener marah padanya pagi ini. &&&& (bersambung)
Vania M Bernadette
(ftr)